Matematika Hidup
Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran usai. Namun, di salah satu sudut ruang kelas, seorang murid masih sibuk menulis di buku tulisnya. Ia tampak serius, meskipun kelas sudah kosong. Di depannya, guru matematika yang dikenal tegas tapi penuh kasih, Bu Atni, berdiri sambil tersenyum.
"Nak, kenapa belum pulang?" tanya guru itu dengan lembut.
Murid itu bernama Raka. Ia menghentikan coretannya dan menunduk. "Saya... belum paham cara menyelesaikan soal ini, Bu."
Bu Atni mendekati meja murid itu dan melihat buku tulisnya. Soal itu memang sulit, bahkan beberapa teman sekelas Raka juga mengeluhkan hal yang sama. Namun, Bu Atni yakin, Raka hanya butuh sedikit dorongan.
"Baik, ayo kita coba pelan-pelan. Ibu yakin kamu bisa," kata Bu Atni sambil duduk di sampingnya.
Waktu berlalu, dan perlahan senyuman mulai muncul di wajah Raka. Ia akhirnya bisa memahami cara menyelesaikan soal yang semula tampak mustahil.
"Terima kasih, Bu," ucap Raka sambil tersenyum lega. "Kalau bukan karena Ibu, saya pasti menyerah."
Bu Atni hanya tersenyum. "Raka, ingatlah. Dalam hidup, bukan hanya soal angka yang harus kamu pecahkan, tapi juga keyakinan dalam dirimu. Jangan pernah ragu untuk mencoba."
Hari itu, Raka pulang dengan hati yang lebih ringan. Namun ia tak tahu, Bu Atni sebenarnya juga menyimpan kekhawatiran. Ia baru saja menerima surat pindah tugas ke kota lain. Hari itu menjadi salah satu momen terakhirnya bersama murid-murid yang ia cintai.
Beberapa minggu kemudian, tepat pada Hari Guru, seluruh siswa berkumpul di aula sekolah. Acara perpisahan untuk Bu Atni pun digelar. Saat dipanggil ke depan, Bu Atni tampak berusaha menahan air mata. Satu per satu siswa memberikan ucapan perpisahan.
Ketika giliran Raka tiba, ia berdiri sambil membawa sebuah bingkisan kecil. "Bu Atni, saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua kebaikan Ibu," katanya dengan suara bergetar. "Tapi saya ingin Ibu tahu, Ibu adalah alasan saya percaya bahwa saya bisa melakukan apa pun, asalkan saya mau mencoba."
Ia menyerahkan bingkisan itu, yang berisi buku dengan tulisan tangan Raka di sampulnya: "Matematika Hidup: Pelajaran dari Bu Atni."
Bu Atni membuka buku itu dan menemukan pesan-pesan dari semua murid di kelas Raka. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Air matanya jatuh, tapi bukan karena sedih, melainkan bahagia.
Hari itu, Bu Atni menyadari bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kepercayaan diri dan harapan di hati murid-muridnya. Dan bagi Raka, pelajaran yang ia terima dari Bu Atni akan terus menjadi bekal hidupnya selamanya.
TAMAT
Kirim Komentar